Jumat, 14 Maret 2008

UU Penyiaran dan Pemusatan Kepemilikan Stasiun TV

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/01/Editor/edit01.htm

UU mengharuskan jangan ada monopoli pemilik stasiun TV. Nyatanya, pemilik TV cenderung melakukan monopoli.

SUARA PEMBARUAN DAILY

Pemusatan Kepemilikan Stasiun Televisi

Oleh Hinca IP Pandjaitan

Bagaimana landscape penyiaran televisi yang free to air saat ini? Televisi lokal bermunculan. Mereka hadir menemani televisi yang selama ini berskala nasional. Televisi berskala nasional cenderung melakukan "perjumpaan" kepemilikan. TV7 berubah menjadi Trans7, sebab Trans TV "membeli" TV7. ANTV berkolaborasi dengan Lativi. RCTI, TPI, dan Global TV berada di satu tangan MNC (PT Media Nusantara Citra Tbk). SCTV dan Indosiar akan segera berada di satu tangan, SCM (PT Surya Citra Media Tbk).

Televisi lokal lahir menjawab spirit desentralisasi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Sedangkan televisi yang berskala nasional melakukan sentralisasi. Menabrak UU Penyiaran?

Filosofi utama yang melatarbelakangi nuansa kebatinan ketika melahirkan UU Penyiaran menggantikan UU No 24/1997 tentang Penyiaran adalah memastikan perubahan mendasar dari model approach sentralisasi ke model approach desentralisasi. UU No 32/2002 bersifat desentralisasi dan UU No 24/1997 bersifat sentralisasi.

Wujud nyata implementasi prinsip desentralisasi ini, UU Penyiaran memperkenalkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regula-tory body yang terdiri dari KPI pusat dan KPI daerah. Konsep desentralisasi regulator ini mengikuti pula konsep sistem penyiaran baik stasiun siaran maupun wilayah jangkauan siaran, yakni sistem berjaringan, yang basisnya provinsi.

Pasal 6 ayat 1 menyatakan: "Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional". "Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal" (ayat 3).

Penegasan pengaturan sistem berjaringan ini tercantum dalam Pasal 31 ayat 1 "Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal". Ini berarti, tak ada lagi stasiun televisi nasional. Yang ada sejumlah televisi lokal dan sejumlah televisi lokal yang kemudian membentuk jaringan.

Bagaimana pula luas jangkauan siaran stasiun televisi lokal? Yang pasti negara yang menguasai spektrum frekuensi itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat 2. Lalu dalam Pasal 18 ayat 3 dinyatakan bahwa pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh pemerintah.

Bagaimana pola dasar pengaturannya? Setidaknya Pasal 31 ayat 5 dapat memberikan petunjuk, yang menyatakan: "... wilayah jangkauan siarannya terbatas pada lokasi didirikannya televisi lokal tersebut". Khusus untuk cakupan wilayah siaran televisi dengan menggunakan frekuensi UHF sudah diatur dalam SK Menteri Perhubungan No 76 Tahun 2003 yang membagi frekuensi UHF ke dalam 30 Cakupan Wilayah Siaran dengan 1.718 saluran. Sedangkan untuk VHF belum ada aturan mainnya.

Satu Saluran

Bagaimana pengaturan penggunaan cakupan wilayah siaran? Apakah satu badan hukum boleh menggunakan lebih dari satu cakupan wilayah siaran? Ternyata menurut Pasal 20: "Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran". Dengan demikian, dapat disimpulkan setidaknya ada 1.718 lembaga penyiaran yang boleh menggunakan saluran frekuensi UHF.

Bagaimana dengan penyelenggaraan penyiaran televisi yang saat ini berlangsung dihubungkan dengan UU Penyiaran? Bukankah semua lembaga penyiaran swasta saat ini bersiaran melalui Jakarta, kemudian dipancarluaskan menggunakan stasiun relai yang menggunakan frekuensi UHF?

UU Penyiaran memberikan masa transisi. Pasal 60 mengatur hal ini sebagai berikut. "Lembaga Penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini tetap dapat menjalankan fungsinya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun untuk jasa penyiaran radio dan paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi sejak diundangkannya undang-undang ini" (ayat 2). Artinya, diberikan batas waktu sampai 28 Desember 2005.

Khusus untuk lembaga penyiaran yang saat UU Penyiaran ditetapkan sudah ada dan menggunakan stasiun relai, diatur dalam Pasal 60 ayat 3.

"Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum diundangkannya undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah". Itu berarti, masa penyesuaian terhadap UU Penyiaran diberikan sampai 28 Desember 2007.

Berkenaan dengan ketentuan Pasal 60 ayat 3, PP No 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta (PP LPS) mengaturnya lebih lanjut. Menurut Pasal 70 PP LPS: "Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi yang sudah mempunyai stasiun relai di ibu kota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat tanggal 28 Desember 2007, kecuali pemilik modal daerah belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal atau ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri atau Pemerintah Daerah setempat".

Posisi Sekarang

Belum sempat lembaga penyiaran melakukan penyesuaian, ternyata mereka melaksanakan upaya pemusatan dan penguasaan kepemilikan lebih dulu, sehingga isunya bukan lagi soal menuju pelepasan kepemilikan stasiun relai, tetapi melaksanakan perjumpaan kepemilikan. Sehingga pertanyaannya adalah bagaimana dengan langkah hukum yang dilakukan oleh MNC atas penguasaan RCTI, TPI dan Global TV? Atau lenyapnya TV7 berubah menjadi Trans 7 yang dilakukan Trans TV? Atau rencana SCM menguasai SCTV dan Indosiar seturut ketentuan Pasal 32 PP LPS?

Tindakan "perjumpaan kepemilikan" dengan "mencuri start" sebelum membentuk stasiun jaringan lebih dahulu merupakan pelanggaran atas prinsip dasar lahirnya UU Penyiaran yang memperkenalkan konsep desentralisasi. Sebab, Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran secara tegas mengatur pembatasan pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.

Bagaimana mekanisme pembatasannya? Dalam Pasal 32 ayat 1 PP LPS menyatakan: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi. Baik orang perorangan maupun per badan hukum hanya dibolehkan memiliki dua Izin Penyelenggaraan Penyiaran dan harus pula berada di dua provinsi yang berbeda. Komposisi kepemilikan saham (dapat) 100 persen untuk badan hukum yang pertama dan paling banyak 49 persen untuk badan hukum kedua, paling banyak 20 persen untuk badan hukum ketiga, paling banyak 5 persen untuk badan hukum keempat dan seterusnya. Itu pun badan hukum-badan hukum tersebut berlokasi di beberapa provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Lalu, apa jadinya jika kemudian satu badan hukum seperti MNC menguasai tiga stasiun televisi (RCTI, TPI dan Global) di satu wilayah siaran yang sama (DKI Jakarta)? Bukankah Pasal 32 ayat 1 huruf a PP LPS mengatur bahwa "satu badan hukum hanya memiliki dua Izin Penyelenggaraan Penyiaran dan harus pula berlokasi di dua provinsi yang berbeda? Bagaimana bila ketentuan ini dilanggar? Pasal 58 UU Penyiaran menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara dua tahun dan atau pidana denda maksimal Rp 5 miliar.

Lalu, pertanyaannya bagaimana mungkin Depkominfo dan KPI (bisa) meloloskan dan membiarkannya? Mengapa pula Komisi I DPR seakan tak melihat kenyataan ini? Tidak ada pilihan lain, kecuali mendesak semua pihak patuh dan tunduk pada UU Penyiaran. Depkominfo dan KPI serta semua pihak yang terkait harus menegakkan UU Penyiaran.

Penulis adalah Ahli Hukum Media dari LQQ Media Law Offices


Last modified: 31/10/07

--
Tribun Timur,
Surat Kabar Terbesar di Makassar
www.tribun-timur.com

Tidak ada komentar: