Jumat, 15 Februari 2008

Sistem Siaran Berjaringan

Artikel yang menarik tentang sistem siaran berjaringan (SSB). Masalahnya memang apakah pemilik TV nasional ikhlas membagi rezeki per 28 Desember 2009. Kedua, apakah pemerintah cukup berani bertindak tegas menjalankan amanat UU saat berhadapan dengan pemilik modal kuat.

Masalah lain, seberapa kuat masyarakat lokal membangun jaringan untuk menyuarakan pentingan SSB. Seberapa siap pengusaha lokal menyiapkan modal, infraktruktur, kemampuan SDM, dan seterusnya.



http://televisikecil.wordpress.com/2007/12/30/transtv-kkn-dan-300-tv-lokal-indonesia/


Dengan jumlah kanal frekuensi yang terbatas, ditambah regulasi yang serba abu-abu, proses ijin pendirian sebuah stasiun televisi mudah dipahami akan menimbulkan KKN. Hanya saja, karena hanya berkaitan dengan kepentingan segelintir pihak, KKN disini tak terlampau terekspose ke publik.

Kasus TransTV di Purwokerto tentu bukan kasus eksklusif. Pengelola TV lain kemungkinan besar mengalami hal yang sama. Juga bukan hanya terjadi di televisi besar. Televisi kecil (swasta lokal, komunitas) juga mengalami hal serupa. Bedanya, televisi besar relatif mudah memecahkan masalah itu karena memiliki “bekal” yang cukup. Sementara televisi kecil bisa jadi akan rontok di tengah jalan. Gagal berdiri. Kalaupun berdiri, sebagian modalnya terbuang percuma untuk cost yang sebetulnya kontra produktif.

Di Jogja, saat ini ada sekitar 5 perusahaan yang antre mengajukan ijin pendirian TV lokal. Semuanya berupaya untuk memperebutkan 1 kanal tersisa, 44 UHF. Kanal tersisa, dalam arti kanal yang belum diisi oleh stasiun televisi manapun. Beberapa waktu yang lalu, kanal ini sempat diisi oleh NusaTV, salah satu “kontestan”. Tapi karena alasan melanggar hukum, Balai Monitor pun dengan sigap “memangkas”nya. Kontestan lainpun tepuk tangan. Ini bisa dilihat sebagai perlakukan yang tidak adil. Mengapa? Karena 2 stasiun TV lokal yang sudah mengudara, sebetulnya juga tidak mengudara pada jatah kanal frekuensi yang semestinya. Dari 14 kanal yang tersedia di Jogja, 10 kanal dipergunakan oleh TV “nasional” Jakarta, 1 oleh TVRI, (semestinya) 2 untuk cadangan kanal digital, dan hanya 1 yang tersisa. Artinya, semua TV lokal Jogja, baik yang sudah mengudara maupun yang “ingin” mengudara, hanya memiliki jatah 1 kanal saja untuk diperebutkan. Lalu, dimana ruang bagi TV lokal?

Menurut saya, perebutan kanal frekuensi seperti ini tidak perlu terjadi. Ruang bagi TV lokal sejatinya justru ada pada 10 kanal yang dipergunakan oleh TV “nasional” Jakarta itu. Kanal-kanal itu adalah sumber daya lokal yang semestinya dipergunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat Jogja sendiri.

Apakah berarti kemudian serta merta menggusur keberadaan TV “Nasional” Jakarta di Jogja? Tentu saja tidak. Justru dengan menunjukkan kesiapan orang Jogja untuk mengisi kanal yang dimilikinya, maka apa yang disebut Sistem Stasiun Bejaringan (SBB) akan kehilangan elastisitas pelaksanaannya. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda lagi. Jika ternyata pengusaha yang berminat mengelola TV Lokal di Jogja tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan, KPID bersama Pemda DIY tentu memiliki kecerdasan yang cukup untuk mengkondisikannya. Jogja yang katanya ” istimewa” bisa mengawalinya, tanpa harus menunggu semua daerah lain di Indonesia siap melaksanakannya.

Ke-10 TV “nasional” Jakarta itu pun akan lebih “legowo” melaksanakan SSB, karena infrastruktur dan mitra lokal telah tersedia. SDM pun bukan menjadi masalah besar (khususnya di Jogja). Tinggal “lempar dadu” saja untuk mendapatkan mitra yang sesuai.

Di sisi lain, mendirikan sebuah TV Swasta lokal akan jauh lebih “mudah”. Dalam konsep SSB, TV Lokal tak perlu lagi pusing-pusing dengan programa siarannya. Mengapa ? Karena mereka cukup bertanggung jawab terhadap 30% dari total jam siarannya. Selebihnya adalah program jaringan. Untuk TV Jaringan yang mengudara 24 jam sehari, TV Lokal anggotanya hanya perlu me-manage programa siaran kurang dari 7 setengah jam. Tak perlu hingga 12-15 jam seperti kebanyakan TV Lokal yang sudah ada (dan sebagian besar terengah-engah). Itupun jumlah maksimal karena pada tahap awal, regulasi mensyaratkan hanya 10% saja (kurang dari 2 setengah jam).

Di sisi investasi teknis, biayanya juga relatif lebih rendah. Keterlanjuran TV “nasional” Jakarta mendirikan pemancar relai semestinya bisa dimanfaatkan dengan lebih cerdik. Dalam konteks SSB plus keterlanjuran itu, yang terjadi justru kesia-siaan jika TV lokal membuang modal mendirikan pemancarnya sendiri. Untuk menjangkau seluruh area, toh mereka bisa bekerjasama dengan induk jaringannya dengan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada.

SSB sudah pasti ditunda hingga 28 Desember 2009. Jika “template” khas Jogja ini bisa dilaksanakan dalam 1 tahun ke depan, boleh kan membayangkan akan ada 11 TV Lokal di Jogjakarta? Dan, boleh kan membayangkan akan ada lebih dari 300 TV Lokal di Indonesia di akhir tahun 2009?

Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Semuanya harus dibicarakan, diatur dan dipersiapkan dengan cermat. Semua pihak, terutama pihak lokal (KPID dan Pemda) perlu melakukan inisiasi dan langkah yang lebih strategis. Dan untuk memfasilitasi semua itulah mengapa Jogja Television Forum akan dideklarasikan di penghujung tahun ini.

Salam,
Agus Yuniarso
Televisiana Indonesia
Televisi Kecil - Jogja Television Forum

1 komentar:

Tamasolusi mengatakan...

Nice post...
trims