Selasa, 26 Februari 2008

Kiat TV Swasta dan TV Baru Bersaing dengan Pemain Lama

ARTIKEL ini sudah cukup lama, 2005. Kendati begitu, aktualitasnya masih terasa: Bagaimana kiat pengelola TV baru, TV lokal pula, bermain di pasar persaingan yang begitu ketat, pasar yang membutuhkan begitu banyak modal untuk bisa masuk.

Di kompentisi televisi kita melihat bagaimana uang dan modal bersaing. Uang saja tidak cukup, harus kreatif. Kreatif saja tidak cukup, harus mampu membaca kebutuhan pasar. Mampu membaca kebutuhan pasar saja tidak cukup, harus mampu merumuskan produk yang pas untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut.
Celakanya, persaingan itu tidak dalam term yang pendek. Bukan pertandingan bola yang hanya 2x45 menit. Ini persaingan menit demi menit, day to day, bahkan tahun demi tahun. Siapa yang lengah dia kalah. Kesalahan merumuskan strategi dan produk yang pas akan berakibat sangat mahal.


26 June, 2005

KOMPAS MINGGU, 19 Juni 2005

Jurus Alternatif Televisi Jakarta

GEORGE Michael bersama Andrew Ridgeley yang tergabung dalam kelompok Wham itu terlihat di Jak TV, Jumat (17/6) siang. Mereka membawakan lagu kondangnya, Wake Me Up Before You Go Go. Itu lagu populer yang sering diputar di radio-radio negeri ini sekitar 20 tahun silam.
Bagi sebagian penonton Jak TV, penampilan Wham dalam program Vh1 itu boleh jadi merupakan semacam nostalgia. Munculnya Wham di layar kaca negeri ini memang bisa disebut langka karena mereka memang sudah bubar pada tahun 1986. Kelangkaan itu menjadi salah satu unsur hiburan alternatif-setidaknya jarang ditampilkan televisi lain yang suka membuat acara seragam itu.
Program Vh1 yang mendominasi suguhan Jak TV itu antara lain menayangkan Phil Collins yang membawakan Groovy Kind of Love, Cindy Lauper dengan True Colors, sampai Spandau Ballet dengan True-nya. Boleh jadi, tayangan lawas itu memang berkenan di hati pemirsa.
"Ih, baru kali ini aku liat Spandau Ballet. Lagunya enak- enak, seperti radio yang divisualisasikan," kata seorang pemirsa usia 40-an tahun tentang tayangan lagu-lagu lama itu.
Stasiun televisi lokal yang bermain di Jakarta berhitung cermat dengan pasar Jakarta. Mereka kemudian mencari apa yang disebut sebagai penonton alternatif yang kemudian disuguhi tontonan alternatif pula. Selain Jak TV, O Channel yang mulai mengudara 2 Juni 2005 juga menjual hiburan alternatif.
Apa boleh buat, Jakarta sudah sarat hiburan, termasuk hiburan televisi yang disuguhkan 11 stasiun televisi nasional plus televisi kabel yang dikonsumsi sebagian publik Jakarta.
"Berat rasanya jika kami melawan televisi lain, baik untuk jangkauan dan program. Kami cari pasar yang agak kosong. Kami membidik penonton alternatif," kata Direktur Utama Jak TV, Eric Tohir.
Jak TV dan juga O Channel sama-sama membidik penonton alternatif, yaitu pasar golongan A dan B atau kalangan yang secara sosial ekonomi masuk dalam kelas menengah atas. Eric yakin jumlah kalangan tersebut cukup banyak di Jakarta, dan bisa dijadikan pasar Jak TV.
Eric mencirikan pasar itu sebagai orang-orang yang sibuk, butuh hiburan, tetapi mempunyai waktu sempit. Mereka diasumsikan sebagai kaum yang memburu hiburan yang selama ini tak tersuguhkan stasiun televisi yang telah ada.
"Mereka adalah orang yang butuh hiburan di luar yang ada sekarang ini. Mereka berwawasan luas," kata Eric tentang psikografi pasar Jak TV. Kebutuhan mereka diterjemahkan Jak TV dengan acara seperti Golf Academy yang menyorot seputar olahraga golf, termasuk tips-tips bagi para pegolf. Ada juga Rally World yang memuat informasi seputar dunia reli mobil. Kemudian disuguhkan juga Fashion File.
"Di televisi nasional kita kan tak bisa omong soal cowok dandan," kata Eric. Dalam koridor alternatif itu pula, Jak TV juga menampilkan acara Entertainment Tonight (ET). Acara hiburan populer yang tayang perdana pada tahun 1981 di Amerika Serikat itu memuat informasi dan gosip paling hangat. Konon acara ini disaksikan 12 juta penonton pada setiap tayangannya.
Dalam konteks yang kurang lebih sama dengan jenis Wham dan Billy Joel tersebut, Jak TV juga memutar kembali serial Charlie’s Angels yang dibintangi Kate Jackson, Farrah Fawcett, dan Jaclyn Smith. Serial tersebut pernah populer di Indonesia pada era awal 1980-an. Charlie’s Angel yang terkesan "kuno" dalam lanskap hiburan televisi saat ini tersebut justru mempunyai suasana nostalgia. Oleh karenanya dianggap berdaya jual. Setidaknya, serial itu agak berbeda dengan suguhan televisi lain.
JURUS tampil beda juga digunakan O Channel. Seperti dikatakan Meuthia Kasim, Managing Director O Channel, pihaknya perlu menyesuaikan dengan gaya hidup kalangan usia 18-49 tahun dari masyarakat menengah-atas metropolitan.
"Hiburan di O Channel pasti bukan sinetron seperti yang ditampilkan stasiun-stasiun televisi nasional. Kami tidak bermain di situ," kata Meuthia Kasim.
Acara yang masuk kategori "bukan sinetron" itu sebagian diambil O Channel dari CHUM Television International (CTI), Kanada. Misalnya acara fashion. Agar ada rasa lokalnya, O Channel perlu memasukkan muatan lokal, contohnya dengan melibatkan perancang mode lokal. "Kalau toh memang tidak bisa, ya setidaknya host-nya orang kita sendiri," kata Meuthia Kasim.
Muatan lokal seperti yang disuguhkan kebanyakan televisi lokal di Indonesia juga dianut televisi lokal di Jakarta. O Channel menayangkan DKI 15 yang disebut Meuthia sebagai magazine show, majalah udara, yang mengupas persoalan di Jakarta secara detail. Misalnya soal banjir dan dampaknya bagi kalangan menengah atas Jakarta. Ada juga The Box yang memberi kesempatan bagi warga Jakarta untuk mengutarakan unek-unek soal apa saja selama satu menit.
Jak TV menerjemahkan kebutuhan lokal lewat acara Exploring Jakarta. Acara yang ditayangkan tiga kali sehari dengan durasi dua menit itu mengajak penonton mengunjungi artefak-artefak sosial kultural yang menarik di Jakarta. Salah satunya adalah tempat jajan klasik, kedai es krim Ragusa di Jakarta Pusat.

Kebedaan tayangan televisi lokal Jakarta juga ditunjukkan lewat acara di balik tayangan, seperti acara O Access di O Channel yang menjual proses di balik penayangan acara. Jika dalam proses tersebut terjadi kesalahan yang manusiawi sifatnya, maka ia tidak dianggap sebagai aib.
"Pernah pula kami menampilkan suatu saat ketika Plaza Indonesia gelap karena aliran listrik putus. Untuk konsumsi televisi nasional peristiwa itu mungkin enggak laku. Tapi, buat televisinya orang Jakarta seperti O Channel, ini berita bok," kata Meuthia.
Untuk menarik pemirsa, O Channel tak ragu mengusung para penyiar radio yang sudah dikenal pendengar di Jakarta dan sekitarnya, seperti Karina, Lena Toepan, Kemal, dan Melissa Karim sebagai pengantar acara. Menurut Meuthia, ini merupakan salah satu strategi, sebab sebelumnya grup MRA yang membangun stasiun televisi ini relatif sukses bermain pada jalur radio dengan membawahi 10 stasiun radio seperti Hard Rock, MTV Sky, dan Cosmopolitan.
O Channel sadar benar bahwa penonton harus diikat dengan acara yang benar-benar terancang dan mengena di hati. Jika tidak, mereka akan melompat ke saluran lain. Meuthia mengutip hasil riset yang mengatakan bahwa perilaku penonton televisi itu hampir sama dengan pendengar radio, yaitu mereka tidak loyal.
"Acaralah yang membuat orang betah menonton, bukan stasiun televisinya," kata Meuthia sambil menyebutkan salah satu acara andalan O Channel adalah Rockstar. (CP/XAR)
Favorite site: www.tribun-timur.com

Tidak ada komentar: