Sabtu, 02 Februari 2008

Pencitraan Media Atas Sakit dan Meninggalnya Soeharto

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=62060&jenis=Opini

Kamis, 31-01-2008
Pencitraan Media Atas Sakit dan Meninggalnya Soeharto
Opini Tribun
Oleh: Aswar Hasan, Dosen Fisip Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas

Hari Ahad (27/1) pukul 13.10 WIB HM Soeharto meninggal dengan tenang. Demikian keterangan pers yang disampaikan Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Mardjo Soebiandono, SpB. Di sampingnya, putri sulung almarhum Soeharto, Siti Hardiyanti yang akrab disapa Mbak Tutut, dengan suara lirih dan berat, serak terbata-bata, menyampaikan tiga hal pokok, yaitu: Pertama, meminta kiranya bapaknya dapat dimaafkan. Kedua, mohon kiranya almarhum didoakan, agar perjalanannya menuju peristirahatan yang terakhir dilapangkan oleh Tuhan yang Mahakuasa. Ketiga, menyampaikan rasa terima kasih, atas simpati, dukungan yang telah diberikan selama ini.
Akhirnya, Pak Harto, benar-benar meninggalkan kita. Presiden yang paling lama memerintah Indonesia itu, sudah delapan kali keluar masuk rumah sakit. Terakhir, setelah dirawat selama 24 hari secara intensif dengan pengerahan tenaga medis secara ekstra serius dari Tim Dokter Kepresidenan, hingga akhirnya Pak Harto menemui sang khalik.
Menyusul berpulangnya Soeharto, Presiden RI atas nama negara berdasarkan Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 1990 mengumumkan dengan menyatakan turut berduka cita sedalam-dalamnya, dan mulai tanggal 27 Januari hingga 2 Februari 2008 menginstruksikan kepada seluruh kantor instansi pemerintah dan swasta, perwakilan RI di luar negeri serta ke segenap masyarakat luas untuk mengibarkan bendera setengah tiang, karena pada hari tersebut telah dinyatakan sebagai hari berkabung nasional.
Di rumah duka Jalan Cendana, langsung ramai dikunjungi handai taulan, mulai dari tokoh masyarakat, ulama atau agamawan, selebriti, pejabat tinggi dan tertinggi negara, hingga tamu-tamu penting dari manca negara. Kesemuanya hadir untuk memberikan empatinya dan menyatakan atau membawa pesan turut berduka cita sedalam-dalamnya, atas berpulangnya Soeharto.
Ribuan anggota masyarakat menyaksikan dan menyertai para pengiring jenazah yang terdiri atas sejumlah tokoh dan pejabat penting di republik ini, menuju ke tempat peristirahatan almarhum Soeharto yang terakhir, di pemakaman keluarga Astana Giribangun, Kabupaten Karanganyar, Solo.
Keseluruhan peristiwa tersebut, oleh segenap masyarakat di seantero negeri, dapat mendengar atau menyaksikannya, melalui media siaran atau pun media cetak. Boleh dikatakan, seluruh media meliput dan memberitakannya pada penempatan head line dan prime time dengan berbagai sudut pandang yang terpokus di tiga titik obyek pemberitaan, yaitu: Rumah Sakit Pusat (RSPP) Pertamina (selama dalam perawatan), kediaman di Cendana, dan di Astana Giribangun.
Dari keseluruhan sifat dan bentuk pemberitaan, terkesan lebih banyak mengarah pada pencitraan simpatik atas diri almarhum Soeharto. Bahkan, untuk media elektonik siaran televisi, dilakukan secara serempak dan seragam tanpa ada selipan iklan komersial (di saat prosesi pemakaman). Padahal dapat dipastikan, pada saat tersebut, rating pemirsa sangat tinggi. Boleh jadi, itu sebagai bentuk partisipasi empatik media.
Sejak almarhum dirawat di RSPP, ada jutaan pemirsa televisi Indonesia dibuat turut serta secara tidak langsung (lewat layar kaca TV) menunggui Soeharto dengan perasaan cemas dan penuh harap, kapan kiranya saat-saat kesembuhan atau hingga sampai ajalnya Soeharto. Seluruh media berkompetisi menyajikan perkembangan mutakhir dalam bentuk sajian berita terhangat secara berkala, berupa breaking news.
Sajian informasi dan berita pun bervariasi, tetapi nyaris kesemuanya hanya tertuju pada ungkapan simpatik dan empati terhadap sesosok Soeharto yang sedang terbaring tak berdaya di RSPP. Ada berita paranormal yang melakukan ritual khusus untuk kesembuhan Pak Harto, ada juga anak-anak yang polos tak berdosa berdoa penuh harap, kiranya Tuhan menunjukkan kemahakuasaanNYa untuk menyembuhkan Pak Harto. Dan tentunya, tidak ketinggalan para ahli agama di sejumlah masjid dan di tempat ibadah lainnya, yang secara berjamaah berdoa secara khusu' dan khusus untuk Soeharto. Kesemuanya itu, diberitakan oleh media, baik cetak maupun elektronik secara intensif dan eksklusif.
Agenda Penting
Mengapa seluruh media mengerahkan dan memusatkan perhatiannya terhadap liputan Soeharto? Apakah liputan media tersebut masih dalam batas kewajaran? Untuk memperoleh jawaban berdasarkan paradigma media massa, maka setidaknya kita dapat mengambil sudut pendekatan agenda setting.
Fungsi agenda setting, sebagaimana ditulis Oleh S Sinansari ecip (Jurnalisme Mutakhir, 2007) menyatakan, bahwa media massa memiliki kekuatan untuk memberi perhatian terhadap isu tertentu. Mereka dapat membangun citra publik mengenai seorang figur. Media massa dapat pula secara konstan menampilkan obyek tertentu untuk memberi sugesti terhadap individu agar mau berpikir tentang sesuatu, mengetahui sesuatu, dan memiliki perasaan tertentu tentang sesuatu.
Dalam teori agenda setting media tidak bisa terlepas dari kepentingan, yang kemudian terumuskan dalam perencanaan redaksional. Perencanaan tersebut, terpilah pada dua bahagian. Pertama, perencanaan yang dibuat oleh redaksi media, yang kemudian disebut sebagai agenda media bersangkutan. Kedua, perencanaan berdasarkan apa yang ada dalam benak khalayak, yang kemudian disebut sebagai agenda publik. Agenda publik ini, abstrak sifatnya dan hanya bisa diraba melalui survei. Agenda media yang terbaik, adalah manakala sama halnya dengan agenda publik, dimana kemudian apa yang diinginkan oleh publik (khalayak) dapat tersaji dan diperoleh melalui media. Ibaratnya, media bagaikan ikan, dan khalayak adalah airnya. Ikan akan hidup dengan air. Demikian halnya dengan media, yang hanya dapat eksis pada kepentingan publik atau khalayaknya. Media tidak boleh melenceng jauh dari agenda publik, kalau media bersangkutan tidak ingin ditinggalkan oleh khalayak.
Mengenai liputan tentang Soeharto media memang telah menjadikannya sebagai subyek berita yang memiliki nilai berita. Hal ini, pantang untuk dikesampingkan oleh media. Di antara nilai berita tentang sakit dan wafatnya Soeharto, adalah karena memiliki unsur magnitude (besaran peristiwa-nasional dan internasional), prominence (sesuatu yang sangat menonjol yang melekat pada kebesaran bersangkutan), human interest (menyentuh aspek kemanusiaan), di samping itu, tidak dapat disangkal, bahwa liputan tentang Soeharto juga mengandung nilai berita yang bersifat kontroversial, serta memiliki dampak (impact) nasional secara politik dan hukum.
Namun, sangat disayangkan sudut pandang pemberitaan yang berangkat dari faktor kontroversial serta prediksi dampak (impact) atas kejadian peristiwa berita atas Soeharto kurang mendapat perhatian oleh media. Padahal, semua orang tahu, bahwa Soeharto masih menyisahkan masalah hukum yang belum terselesaikan. Lagi pula, publik juga tidak akan pernah lupa, meskipun mungkin sudah memaafkan, atas kejahatan atau kezaliman yang pernah dilakonkan Soeharto selama berkuasa.
Realitas Media
Jika dicermati perihal pemberitaan Soeharto selama ini, maka dapat dilihat, bahwa dari aspek nilai berita magnitude, prominence, dan human interest, media sudah menjadikannya sebagai syarat pemberitaan. Hanya saja, untuk aspek nilai controversy atau conflict dan impact atau consequence, atas Soeharto sebagai subyek berita, media tidak atau belum menjadikannya sebagai dasar pertimbangan olahan sajian pemberitaan, secara terpokus dan proporsional.
Umumnya, media larut dalam alunan emosi subyektivisme simpati, yang pada akhirnya sangat berhasil merentang emosi empati khalayak. Boleh jadi, salah satu hasil dari ekspose media yang simpati tersebut, adalah tumpah ruahnya khalayak massa mengiringi pemakaman Soeharto. Demikian pula halnya dengan ekspressi dan dukungan empati (menempatkan diri secara seperasaan pada situasi kondisi subyek yang dituju), dalam bentuk zikir, yasinan dan salat ghaib serta doa keselamatan secara taksim yang diliput oleh segenap media, dari seluruh penjuru di pelosok negeri. Maka, dalam konteks tersebut, media telah dengan sukses menghadirkan realitas citra positif atas diri Soeharto. Meskipun demikian, citra positif tersebut tidaklah serta merta mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Dalam hal ini, teori komunikasi memang telah mempermaklumkan, bahwa realitas yang dihasilkan oleh media, adalah realitas yang sudah melalui tangan kedua (second hand reality).
Pada akhirnya, siapapun patut dan berhak mempertanyakan keabsahan atas representasi realitas media yang saat ini terbentuk, dan terkondisikan, bahwa seolah seluruh rakyat Indonesia telah memaafkan Soeharto, sebagaimana ekspressi persepsi empati yang terbangun oleh khalayak media. Namun di samping itu, kita pun tak layak menutup mata dan telinga, bahwa kenyataannya, memang masih banyak rakyat Indonesia yang masih mencintai almarhum Soeharto. Al hasil, pepatah yang mengatakan gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama dan jasa. Dan, bagaimana rupa bentuk keharuman nama dan jasa yang bersangkutan di mata publik, akan sangat tergantung bagaimana media memandangnya. Wallahu A'lam Bisshawabe. (***)

Tidak ada komentar: