Senin, 28 Januari 2008

Liputan TV soal Soeharto Abaikan Hak Publik

Aswar Hasan, Ketua KPID Sulsel

Selasa, 29-01-2008


Liputan TV soal Soeharto

Abaikan Hak Publik

SELAMA dua hari terakhir, kita menyaksikan seluruh stasiun televisi di Indonesia menayangkan kabar wafat dan proses pemakaman hingga kisah-kisah heroik dari mantan Presiden Soeharto.
Nyaris tak ada informasi lain yang ditayangkan, selain berita tentang mantan penguasa selama 32 tahun itu. Tak ada gunananya memindahkan tombol chanel TV karena semua siaran sama.
Televisi mulai menaruh perhatian sejak sang jenderal besar itu sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta dan puncaknya saat Soeharto diumumkan wafat, Minggu (27/1).
Berikut ulasan Ketua Komisi Penyiaran Independen Daerah (KPID) Sulsel, Aswar Hasan, menyikapi siaran "seragam" tersebut.

Sepintas mungkin itu tak ada yang salah dengan tayangan televisi yang kita saksikan dalam dua hari ini. Maklum, Soeharto harus diakui sebagai sosok yang memiliki magnitude yang begitu kuat.
Pengelola televisi seakan tak berhenti menyiarkan tentang sosok jenderal bintang lima itu, mulai pagi, siang, malam, hingga subuh. Hampir tak ada jeda.
Hebatnya, tayangan televisi seragam dan seakan-akan kompak menampilkan dominasi tayangan tentang Soeharto.
Padahal, jika kita cermati, kebijakan televisi yang seragam dan seakan-akan kompak menampilkan dominasi tayangan tentang Soeharto itu sebuah pelanggaran terhadap hak publik.
Sebab publik berhak mendapatkan tayangan yang beragam. Bukan tayangan yang seragam seperti yang kita alami.
Ada banyak kejadian atau informasi penting lainnya yang harus diketahui publik. Tapi karena tak tayangan Soeharto, info penting itu akhirnya tak diketahui oleh publik.

Bentuk Persepsi
Hal lain yang diperlihatkan oleh hampir semua stasiun televisi adalah tayangan pembentukan persepsi yang simpatik dari sosok Soeharto dan keluarganya.
Saya khawatir, umumnya orang-orang di redaksi televisi itu pun larut dalam suasana haru dan simpatik kepada Soeharto.
Masyarakat yang menyaksikan tayangan itu pun akhirnya terbawa/terdorong untuk berempati ke Soeharto. Masyarakat tak lagi kritis.
Masyarakat kita ikut menyanjung sebagaimana hendak ditampilkan umumnya kebijakan redaksi stasiun televisi kita. Itulah kelebihan lain dari media.
Padahal, mestinya redaksi media televisi dan media publik apa saja, harus profesional. Dalam artian sajian yang ditampilkan harus semaksimal mungkin obyektif. Tidak mendramatisir dan berupaya membentuk opini publik yang mencitrakan hal-hal baiknya saja Soeharto.
Padahal kita tahu bersama bahwa sosok pendiri Golkar yang berkuasa lebih 30 tahun sebagai Presiden RI itu kontroversial.
Tentu ada jasa-jasa baiknya bagi negeri ini. Tapi kita tidak bisa menutup mata begitu banyak masalah yang tinggalkan oleh Soeharto bagi rakyat Indonesia seperti dugaan korupsi yang dilakukan melalui yayasan, keluarga, dan kroninya. Belum lagi dugaan pelanggaran HAM di masa kepemimpinannya yang mengutamakan stabilitas.
Kembali ke soal mengapa tayangan televisi nasional yang dua hari terakhir didominasi tayangan yang seragam tentang Soeharto yang "berjasa" bagi negeri ini.
Saya curiga jangan sampai ini disebabkan karena ada korelasi antara pemilik saham dengan kebijakan redaksional televisi tersebut.
Apalagi jika isu yang menyebutkan bahwa hampir semua stasiun televisi nasional kita itu sahamnya didominasi kepemilikannya oleh keluarga Soeharto.
Jika isu itu benar, maka hal itu bisa dimengerti mengapa siaran televisi di Indonesia itu menayangkan tayangan yang seragam tentang Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan Indonesia".
Tapi bagi saya, itu menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran monopoli yang dilakukan keluarga mendiang Soeharto.

Ada peristiwa menarik?
SMS www.tribun-timur.com di 081.625.2233
email: tribuntimurcom@yahoo.com

Hotline SMS untuk berlangganan Tribun
Timur edisi cetak: 081.625.2266.
Telepon: 0411 (8115555) (jum)

Tidak ada komentar: